Social Icons

Jumat, 22 Februari 2013

KERATON KASUNANAN DAN MANGKUNEGARAN SURAKARTA



Keraton Kasunanan Surakarta

                     Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Latar belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
            
                      Naskah Perjanjian Giyanti,                        Persembahan tari sakral Bedhaya Ketawang
       yang membagi                                            dalam Upacara Tingalandalem Jumenengan
       wilayah Mataram menjadi dua.
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
              Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Pintu Gerbang Keraton Kasunanan Surakarta    


Pendhopo Keraton Kasunanan Surakarta


 Panggung Sangga Buana
         

                                   

 
                       

Keraton Mangkunegaran


Istana atau Puro Mangkunegaran, tempat kediaman resmi dari Mangkunagoro. Kraton Mangkunegaran merupakan model rumah bangunan Jawa tradisional. Kraton indah yang terawat ini terletak di pusat kota Solo, diantara Jalan Ronggo Warsito, Jalan Kartini, Jalan Siswo dan Jalan Teuku Umar. Puro Mangkunagaran adalah istana tempat kediaman Sri Paduka Mangkunagara di Surakarta, dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti model kraton yang lebih kecil. Puro ini dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang mengawali pendirian Praja Mangkunegaran dan dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh VOC (Kompeni) pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Raden Mas Said terus memberontak pada VOC (Kompeni) dan atas dukungan Sunan mendirikan kerajaan sendiri pada tahun 1757. Raden Mas Said bergelar Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat kota yang sekarang bernama Solo. Seperti bangunan utama di kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, Puro Mangkunagaran mengalami beberapa perubahan selama masa puncak pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu. Kraton Mangkunagaran dibagi 3 ruang, yaitu:
-          Pendopo
-          Paringgitan
-          Dalem Ageng
Setelah pintu gerbang utama dibuka, akan tampak pamedan, yaitu lapangan perlatihan prajurit pasukan Mangkunagaran yang sekarang digunakan untuk latihan sepak bola. Bekas pusat pasukan kuda, gedung kavaleri berada di sebelah Timur pamedan. Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Agung.

RUANGAN DI KRATON MANGKUNEGARAN
1.     PENDOPO
Pendopo Agung berukuran 3.500 meter persegi dengan lantai yang terbuat dari marmer dan merupakan hadiah dari Itali. Pada bagian depan pendopo juga terdapat patung singayang merupakan hadiah dari Benglin, Jerman. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang ini, selama bertahun-tahun dianggap pendopo yang terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Mangkunegaran, di daerah perbukitan Ndonoloyo, Wonogiri. Dimana keempat tiang tersebut berasal dari 1 pohon yang sama dan melalui sungai Bengawan Solo, keempat tiang tersebut dibawa dari perbukitan Wonogiri ke Kraton Mangkunegaran. Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Pendopo ini digunakan untuk mengadakan resepsi dan sebagai tempat untuk pentas tari-tarian Jawa. Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom (padi muda), warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa. Dari langit-langit ini tergantung deretan lampu gantung antik yang merupakan hadiah dari Eropa. Lampu gantung ini dahulu menggunakan lilin dengan minyak kelapa, namun sekarang sudah diganti dengan listrik. Perlu diperhatikan lukisan-lukisan pada langit-langit di tengah pendopo. Lukisan tersebut dilukis oleh Liem Tho Hien pada tahun 1937 dan didesain oleh Mr. Karsten dari Belanda. Lukisan pada langit-langit di tengah pendopo tersebut bercorak batik yang disebut dengan batik ‘Muda Wati’. Dimana terdapat delapan warna dengan maksud dan arti tertentu. Delapan warna tersebut antara lain; warna kuning yang mempunyai maksud untuk mencegah rasa mengantuk, warna biru untuk mencegah musibah, warna hitam untuk mencegah lapar, warna hijau untuk mencegah frustasi, warna putih untuk mencegah pikiran seks birahi, warna orange untuk mencegah ketakutan, warna merah untuk mencegah kejahatan, dan warna yang terakhir adalah warna ungu untuk mencegah pikiran jahat. Pada mulanya orang yang hadir di pendopo harus duduk bersila di lantai. Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19, pada saat pemerintahan Mangkunagara VI.
Di bagian Barat Pendopo terdapat empat set gamelan, satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus. Gamelan yang diselubungi kain hijau adalah Kyai Kanyut Mesem (tertarik untuk tersenyum), merupakan gamelan pusaka yang paling baik, paling lengkap dan paling sering dimainkan. Tiap hari Rabu pagi Kyai Kanyut Mesem ditabuh untuk latihan beksan, dan tiga kali dalam  sebulan diadakan siaran dari gamelan tersebut oleh RRI Solo. Kyai Kanyut Mesem telah berumur kira-kira 200 tahun.
Di samping Kyai Kanyut Mesem, di pendopo juga ditata tiga set gamelan yaitu Upacara Munggang, Corobalen dan Kodok Ngorek. Gamelan-gamelan ini ditabuh pada upacara-upacara tertentu saja, seperti penobatan, perkawinan, khitanan, pada saat menyambut kedatangan tamu agung. Setiap hari Sabtu pagi diadakan latihan memukul gamelan-gamelan tersebut. Gamelan-gamelan tersebut juga digunakan untuk mengiringi tari, salah satu tari yang biasa dipertontonkan di Pendopo ialah tari Srimpi. Biasanya tari Srimpi ditarikan oleh 4 orang penari atau lebih dan yang menari haruslah seorang gadis.
Menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia yaitu :
-          Grama (Api)
-          Angin (Udara)
-           (Air)
-          Bumi (Tanah)
Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung. Serimpi merupakan seni yang adhiluhung serta dianggap pusaka Kraton. Tema yang ditampilkan pada tari Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan antara baik dengan buruk, antara benar dan salah antara akal manusia dan nafsu manusia.




2.     PARINGGITAN   
Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka bernama Paringgitan, yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan seluas 1.000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur pengantin kerajaan, sekarang  berfungsi sebagai museum. Pada saat menuju Paringgitan kita akan disambut dengan lukisan, lukisan-lukisan tersebut tidak lain adalah gambar KGPAA. Mangkunagoro IX yang berhadapan dengan lukisan Gusti Kanjeng Putri, istri kedua Mangkunegaran IX. Yang kemudian disebelah lukisan Mangkunagoro VII yang berhadapan dengan istrinya, K.R. Timum. Selain memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) yang berlapiskan tenun sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, senjata, pakaian, medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunagaran dan benda-benda seni. Di sebelah kanan dan kiri Paringgitan terdapat kamar untuk perempuan dan laki-laki. Di sebelah kanan Paringgitan digunakan untuk perempuan yang disebut balai Wasni, untuk laki-laki disebut balai Peni yang terdapat di sebelah kiri Paringgitan.
3.     DALEM AGENG
Dalem ageng merupakan tempat diadakannya upacara-upacara tradisional. Bangunannya berbentuk limasan (dengan 8 buah soko guru), tidak memiliki plafond, sehingga usuk-usuk dan reng-reng dapat dilihat, yang merupakan simbol dari matahari.
Di Dalem Ageng terdapat koleksi benda-benda purba, yang dikumpulkan mulai tahun 1926. Koleksi ini ditempatkan di almari kaca, seperti gelang, kalung, subang, anting-anting, rantai, badong dan sebagainya. Disamping koleksi tersebut, dipamerkan pula barang-barang ampilan upacara seperti: sumbu (tempat sapu tangan), tempat sirih, kecohan (tempat meludah), senjata-senjata kuno dan lain sebagainya , serta dua buah almari berisi pakaian-pakaian yang disepuh untuk tari-tarian Bedhoyo srimpi dan Langendriyan. Terdapat pula lukisan para Adipati yang pernah memegang tahta di istana Mangkunegaran mulai dari Mangkunagoro II hingga Mangkunagoro IX. Sedangkan Mangkunagoro I hanya dilambangkan dengan simbol matahari karena beliau tidak mau dilukis. Di tengah ruangan itu terdapat tempat yang bernama Trohongan untuk memuja Dewi Padi , setiap malam Jum’at kliwon diadakan pemujaan terhadap Dewi Padi dengan membawa persembahan berupa sesajian . Di sebelah kanan dan kirinya terdapat kamar yang digunakan untuk tempat istirahat putra dan putri raja . Kamar untuk laki – laki terletak di sebelah kiri Trohongan yang disebut Sentong kiri. Sedangkan kamar untuk perempuan yang terletak di sebelah kanan Trohongan yang disebut Sentong kanan. Di Trohongan juga terdapat dua patung, perempuan disebelah kanan, sedangkan yang laki-laki disebelah kiri, kedua patung ini disebut Loro Gloyo.
Semua koleksi barang tersebut ditempatkan di Dalem Ageng dan sekarang dapat dilihat oleh umum tetapi tidak dapat diabadikan, agar meningkatkan rasa harga diri bangsa, karena barang-barang tersebut merupakan hasil karya bangsa kita sendiri. Diantaranya, terdapat tata rias tari B. srimpi Sinari yang terbuat dari emas dan intan. Selain itu juga terdapat kipas yang pernah digunakan oleh Gusti Nurul Kusuma Wardani saat perkawinan seorang Belanda, yaitu Yuliani, dimana sang penari pada saat itu menari di Belanda, tetapi diiringi oleh gamelan di Pendopo.
Koleksi barang yang lain yaitu perlengkapan wanita, kebanyakan anting-anting putri. Di meja lain terdapat perlengkapan pria. Terdapat juga berbagai macam uang yang terbuat dari emas, uang yang besar rupiah, sedangkan yang kecil sen. Di tempat lain juga terdapat berbagai peralatan rumah tangga, diantaranya tempat gula, tempat susu, teh, kopi, wawidon untuk sirih, kumpeng, serutu, tempat untuk minum anggur. Selain peralatan rumah tangga, terdapat juga tempat gambir, injet, gunting serutu, gading dari Bali, dan replika Dasamuka. Barang-barang tersebut terbuat dari Kristal dan merupakan hadiah dari Eropa. Koleksi lain yang merupakan hadiah dari Jepang yaitu sebuah bola, dimana di dalam bola itu masih terdapat bola lain sampai 12 bola. Di dalam Dalem Ageng juga terdapat koleksi medali yang diantaranya dari Negara Cina, Belanda, dan Thailand. Diantara medali-medali tersebut juga terdapat salib dari Roma. Di meja lain juga ada pedang pemberian dari Jepang, Belanda, dan Turki.
Di Dalem Ageng juga ada tempat untuk sesaji. Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan raja. Taman di bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan sangkar berisi burung berkicau. Terdapat pula patung-patung klasik model Eropa, serta kupu-kupu berwarna-warni dengan air mancur yang bergerak-gerak di bawah sinar matahari. Menghadap ke taman terbuka adalah beranda dalem yang bersudut delapan, dimana terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa yang indah. Kaca-kaca berbingkai emas terpasang berderet di dinding. Dari beranda menuju ke dalam tampak ruang makan dengan jendela kaca berwarna gambar yang berisi pemandangan alam Jawa, terdapat ruang ganti dan rias para putri raja serta kamar mandi yang indah.

4.     GARASI KERETA

Garasi kereta terletak di sebelah tenggara Istana Mangkunegaran. Di dalam ruangan tersebut terdapat enam buah kereta dan sebuah kurungan ayam yang sebenarnya digunakan untuk acara “tedak siti”. Acara ini merupakan acara syukuran bagi bayi berumur tujuh bulan yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah.
Sedangkan keenam kereta yang ada di ruangan tersebut pernah digunakan dari tahun 1850 – 1944 atau pada masa pemerintahan Mangkunagoro IV hingga Mangkunagoro VIII. Kereta yang paling tua bernama Barouchet. Kereta ini mengalami perbaikan pada tahun 1860 -1880. Sedangkan kereta yang paling besar dan mewah bernama Kyai Condroretno. Kereta ini merupakan hadiah dari Deen Haag, Belanda dan pernah mengalami perbaikan pada tahun 1850 – 1860. Kyai Condroretno pernah digunakan pada acara pernikahan Mangkunagoro IX dengan istri pertamanya. Kereta yang ketiga bernama Landaulet yang merupakan hadiah dari Amsterdam, Belanda. Pernah mengalami perbaikan pada tahun 1913. Kereta yang keempat bernama Glaslaunder, hadiah dari Amsterdam, Belanda. Pernah mengalami perbaikan pada tahun 1890 – 1900. Dari keenam kereta tersebut, terdapat dua kereta yang sama, bernama Berline. Merupakan hadiah dari London, Inggris dan pernah mengalami perbaikan pada tahun 1880 – 1900.
Karena Istana Mangkunegaran memiliki obyek-obyek kebudayaan, maka diberi nama Obyek Wisata Budaya dan dibuka untuk umum sejak tahun 1968, dengan tujuan:
-          Untuk menyebarluaskan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya dan kebudayaan Jawa khususnya.
-          Agar kebudayaan tersebut dapat dimengerti dan dimanfaatkan terutama oleh generasi penerus.
-          Untuk menambah pemasukan Istana Mangkunegaran guna biaya pemeliharaan benda-benda kebudayaan tersebut.

BENDA KOLEKSI DI ISTANA MANGKUNEGARAN
1.     MAKSUD DAN TUJUAN KOLEKSI

Maksud dan tujuan dari koleksi antara lain adalah untuk menunjukkan bahwa kebudayaan, adat serta peradaban bangsa kita dimasa lampau telah begitu tinggi dan maju. Dengan koleksi ini diharapkan kita dapat memperlihatkan sebagian dari budaya bangsa kita yang selama ini tenggelam. Kita mencoba untuk menghidupkannya kembali dengan menunjukkan kepada bangsa kita pada umumnya dan kepada generasi muda pada khususnya yang belum begitu mengenal peradaban bangsa kita di masa lampau.
Diharapkan akan menjadi kenyataan bahwa akan tiba masanya bahwa benda-benda peninggalan jaman kuno tidak lagi dianggap keramat, yang dapat mendatangkan keuntungan atau kesengsaraan, akan tetapi dinilai sebagai kebudayaan bangsa yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Hal ini pada akhirnya bisa memainkan peranan dalam studi mengenai sejarah dan kebudayaan bangsa.
           
2. ASAL-USUL BENDA KOLEKSI

Dengan terus menerus membeli benda-benda dari perak dan emas yang dibuat oleh pandai emas Jawa Kuno diperoleh gambaran yang jelas bagaimana kemampuan mereka pada saat itu. Akan tetapi hal seperti itu tidak dapat untuk mengetahui secara pasti darimana asal benda-benda tersebut.
Koleksi benda-benda yang terbuat dari emas dibeli dari Surakarta dan Yogyakarta. Menurut catatan, asal-usul benda koleksi tersebut apabila ditemukan didalam wilayah praja Mangkunegaran kebanyakan berasal dari daerah sekitar Wonogiri. Hal ini sesuai dengan penemuan prasasti pada tahun 1933, yaitu berupa perahu ferry buatan tahun 903 M, yang bebas bea di daerah Bengawan Solo, dimana tempat tersebut sekarang bernama Wonogiri.
Seribu tahun yang lalu, letak keraton tidak begitu jauh ke Selatan, karena hubungan dengan India maupun dengan negara asing dilakukan di pantai Utara. Oleh karena itu, kita bisa menghubungkannya dengan asal usul benda emas di daerah Gunung Kidul dengan perahu ferry yang bebas bea masuk ke Bengawan Solo, yang barangkali bermaksud untuk memajukan perjalanan ziarah ke makam raja-raja dan pertapaan.
Untuk di daerah Yogyakarta ditemukan di Selatan ibukota Bantul, yang terletak dekat dengan candi-candi utama. Di daerah Surakarta diperoleh arca-arca di daerah candi Nusukan yang sekarang telah hilang. Konon, candi tersebut terletak di dekat jembatan kereta api di atas Sungai Kalianyar.
Tempat penemuan lain yaitu di Mojogedang, Sragen. Dahulu, disini terdapat kompleks kecil yang terdiri dari candi utama yang di depannya terdapat tiga monumen kecil. Di situs tersebut terdapat arca Siwa kepala tiga yang masih terdapat lingga dan yoni.

3. MACAM-MACAM BENDA KOLEKSI

Macam-macam benda yang dipamerkan di dalam museum Istana Mangkunegaran antara lain:
a.       Kereta
b.      Arca logam
c.       Arca batu
d.      Peralatan dari logam
o   Lampu
o   Talam untuk Pendeta
o   Genta untuk Pendeta
o   Genta gantungan
o   Anglo untuk dupa
o   Belanga untuk air suci
o   Belanga
o   Ciduk
o   Cermin
o   Atribut agama Budha
o   Cincin dan ban pengikat
e.       Rantai/kalung
o   Hiasan badan lain-lainya
o   Mata uang dan peneng
o   Lain-lain
§  Digunakan untuk upacara
§  Benda-benda perhiasan
§  Prasasti
§  Kegunaan tidak diketahui
f.        Senjata-senjata
o   Tombak
o   Keris
o   Kujang, dan lain-lain
g.       Lukisan (dari Basuki Abdullah) dan foto
h.      Topeng-topeng dari Bali, Madura, Cirebon, Solo, Yogya dan Malang
i.         Tanda penghargaan
j.         Pakaian tari
o   Tari srimpi
o   Tari langendriyan
k.       Wayang beber
l.         Koleksi Kristal
m.    Kaligrafi
n.      Koleksi lain-lain

| LG |

4 komentar:

  1. blas gk ngeh dgn kerajaan ini krn gara-gara Rebutan Jatah pd saling serang.
    harusnya malu pd rakyat nya tolong sama2 kita cermati lbh tliti ini aib sekelas kerajaan yg memalukan dirinya sendiri...
    Seperti diwartakan sebelumnya geger di Keraton Surakarta, masih memanas antara dua kubu. Dari kubu pro-rekonsiliasi, yakni GPH Madukusumo, menuding dua menantu Paku Buwono (PB) XII, yakni KRMH Satriyo Hadinagoro dan KP Edy Wirabhumi sebagai dalang di balik keributan yang terjadi Senin lalu.

    Sementara dari pihak Dewan Adat yang diwakili KRMH Satriyo Hadinagoro menegaskan, pihaknya tidak melakukan penggembokan maupun penyanderaan terhadap Raja Paku Buwono (PB) XIII, seperti yang ditudingkan pihak KGPH Tedjowulan. “Itu sudah diterangkan oleh pihak kepolisian, bahwa tidak ada penggembokan dari dalam,” ujar Satriyo.

    Satriyo juga mengungkapkan bahwa pihaknya sudah cooling down dan bersikap dewasa dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini. “Saya selalu ingat pepatah Jawa, becik ketitik olo ketoro,” tandasnya.

    Sementara saat menggelar jumpa pers di kediamannya, Rabu (28/8), GPH Madukusumo mengatakan, perilaku Edy Wirabumilah yang berusaha memecah belah kerukunan di dalam keraton. “Seharusnya dia (Edy) itu merukunkan, bukan memecahkan,” katanya.

    Ia pun menentang keras sikap Dewan Adat Keraton yang mengklaim sudah mengambil alih wewenang Raja PB XIII Hangabehi. “Mengenai Dewan Adat itu tidak dibenarkan, karena Dewan adat itu tidak ada. Itu hanya LSM yang dibentuk hanya untuk mendapatkan dana hibah dari provinsi,” tegasnya.

    Alhasil, adanya pengambil alihan wewenang Raja yang dilakukan oleh Dewan Adat itu ilegal. Sehingga, pihaknya pun tetap mengakui bahwa yang menjadi panutan adalah Raja PB XIII Hangabehi. ”Keputusan Sinuhun masih mutlak. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya Kepres Nomor 23 Tahun 1988 bahwa pemimpin di keraton adalah Sinuhun, bukan dewan adat!” tegasnya.

    Ia pun mengatakan bahwa yang menjadi penyebab keributan di Keraton adalah masalah uang. Gusti Madu merincikan, kawasan Keraton memiliki potensi pemasukan uang yang cukup banyak. Mulai dari keberadaan museum, parkir, sewa Alun-alun untuk Sekaten dan panggung musik, pingsungsung, dan potensi lainnya. Namun karena adanya pengelolaan yang tidak merata, menimbulkan perselisihan.

    “Seharusnya apa yang ada di kawasan keraton itu harus dibagi rata semua. Kan banyak, mulai dari parkir, museum, alun-alun kan bisa dibagi rata. Semuanya bisa dibahas, sebelum nanti jatuh korban,” katanya.

    Gusti Madu pun menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh warga Baluwarti atas ketulusannya dan dedikasinya yang membantu keraton dalam mengusir massa yang didatangkan oleh KP Eddy Wirabumi.

    Terpisah, Wakil Pengageng Sasana Wilapa Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo mengakui pemasukan uang ke keraton cukup besar. Untuk parkir di kawasan museum dalam seminggu saja mencapai Rp 6 juta. “Jumlah itu sudah dibagi dengan penyewa, jadi keraton mendapat 60 persen dan penyewa 40 persen,” paparnya.

    Selain itu, juga dari pergelaran Sekaten yang dulu dikelola pemerintah sekarang dikelola sendiri. Juga pemasukan dari kunjungan wisatawan. Di samping itu ada juga dana hibah dari pemerintah provinsi maupun Pemkot Surakarta.

    Meski begitu, Winarno merinci berbagai kebutuhan untuk kegiatan rutin keraton. “Untuk setiap bulannya saja, keraton itu menghabiskan anggaran antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Itu digunakan untuk berbagai kegiatan,” katanya.

    Ia merinci, untuk pembayaran listrik sekitar Rp 1 juta, pakan kerbau Rp 2 juta per bulan, Sajen gondorasan setiap hari Kamis dan Selasa kliwon sebesar Rp 400.000. Untuk keputren setiap hari Kamis Rp 630.000. Untuk pajak di Kuta Gedhe dan Imogiri setiap tiga bulan sekali sebesar Rp 1,5 juta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iki Kadipaten Mangkunegaran dudu Kasunanan Surakarta ... Wadoh ,piye to. Tolong dibedakan yo lee..

      Hapus
  2. lengkap banget ini penjelasannya... super.

    BalasHapus