Keraton Kasunanan
Surakarta
Kasunanan Surakarta
Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa
Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil
dari perjanjian Giyanti 13 Februari
1755. Perjanjian antara VOC dengan
pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan
Pakubuwana III dan Pangeran
Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua
wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.Kasunanan Surakarta umumnya
tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan
tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja
Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan
Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan
VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Latar belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh
akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya
oleh Sunan
Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan
Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat
serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat
dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan
Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami
keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat
IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah
rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian
memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan
Mataram yang baru.
Bangunan
Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana
II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib
atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama
Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff,
untuk mencari lokasi ibu
kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20
km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi
Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama
"wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini
menurut catatan[siapa?] menggunakan
bahan kayu jati dari kawasan Alas
Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan
Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17
Februari 1745 (atau Rabu
Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan
Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13
Februari 1755) menyebabkan
Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan
Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan
rajanya Sultan Hamengkubuwana
I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola
tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil
wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada
pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara
I).
yang membagi dalam Upacara Tingalandalem Jumenengan
Kerajaan
Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian
dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana
II tahun 1746 yang
meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden
Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal
karena sakit tahun 1749. Namun, ia
sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron
von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik
raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang
sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai
untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau
berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang
ditanda-tangani oleh Pakubuwana
III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah
Mataram mengambil gelar Sultan
Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan
Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang
dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan
Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan
nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin
berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said
diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus
kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa,
Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah
Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang
Diponegoro pada tahun 1830, di mana
daerah-daerah mancanegara diberikan
kepada Belanda sebagai ganti
rugi atas biaya peperangan.
Pintu Gerbang Keraton Kasunanan Surakarta
Pendhopo Keraton Kasunanan Surakarta
Panggung Sangga Buana
Keraton Mangkunegaran
Istana
atau Puro Mangkunegaran, tempat kediaman resmi dari Mangkunagoro. Kraton
Mangkunegaran merupakan model rumah bangunan Jawa tradisional. Kraton indah
yang terawat ini terletak di pusat kota Solo, diantara Jalan Ronggo Warsito,
Jalan Kartini, Jalan Siswo dan Jalan Teuku Umar. Puro Mangkunagaran adalah
istana tempat kediaman Sri Paduka Mangkunagara di Surakarta, dibangun setelah
tahun 1757 dengan mengikuti model kraton yang lebih kecil. Puro ini dibangun
setelah Perjanjian Salatiga yang mengawali pendirian Praja Mangkunegaran dan
dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti yang isinya membagi pemerintahan
Jawa menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh VOC (Kompeni)
pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Raden Mas Said terus
memberontak pada VOC (Kompeni) dan atas dukungan Sunan mendirikan kerajaan
sendiri pada tahun 1757. Raden Mas Said bergelar Mangkunegoro I dan membangun
wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat
kota yang sekarang bernama Solo. Seperti bangunan utama di
kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta, Puro Mangkunagaran mengalami beberapa
perubahan selama masa puncak pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah.
Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu. Kraton
Mangkunagaran dibagi 3 ruang, yaitu:
-
Pendopo
-
Paringgitan
-
Dalem Ageng
Setelah pintu gerbang utama
dibuka, akan tampak pamedan, yaitu lapangan perlatihan prajurit pasukan
Mangkunagaran yang sekarang digunakan untuk latihan sepak bola. Bekas pusat
pasukan kuda, gedung kavaleri berada di sebelah Timur pamedan. Pintu gerbang
kedua menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Agung.
RUANGAN DI KRATON MANGKUNEGARAN
1. PENDOPO
Pendopo Agung berukuran 3.500 meter persegi dengan lantai
yang terbuat dari marmer dan merupakan hadiah dari Itali. Pada bagian depan
pendopo juga terdapat patung singayang merupakan hadiah dari Benglin, Jerman.
Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang ini, selama
bertahun-tahun dianggap pendopo yang terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu
berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh
di hutan Mangkunegaran, di daerah perbukitan Ndonoloyo, Wonogiri. Dimana
keempat tiang tersebut berasal dari 1 pohon yang sama dan melalui sungai
Bengawan Solo, keempat tiang tersebut dibawa dari perbukitan Wonogiri ke Kraton
Mangkunegaran. Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Pendopo
ini digunakan untuk mengadakan resepsi dan sebagai tempat untuk pentas
tari-tarian Jawa. Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna
pari anom (padi muda), warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit
pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa. Dari
langit-langit ini tergantung deretan lampu gantung antik yang merupakan hadiah
dari Eropa. Lampu gantung ini dahulu menggunakan lilin dengan minyak kelapa, namun
sekarang sudah diganti dengan listrik. Perlu diperhatikan lukisan-lukisan pada
langit-langit di tengah pendopo. Lukisan tersebut dilukis oleh Liem Tho Hien
pada tahun 1937 dan didesain oleh Mr. Karsten dari Belanda. Lukisan pada
langit-langit di tengah pendopo tersebut bercorak batik yang disebut dengan
batik ‘Muda Wati’. Dimana terdapat delapan warna dengan maksud dan arti
tertentu. Delapan warna tersebut antara lain; warna kuning yang mempunyai
maksud untuk mencegah rasa mengantuk, warna biru untuk mencegah musibah, warna
hitam untuk mencegah lapar, warna hijau untuk mencegah frustasi, warna putih
untuk mencegah pikiran seks birahi, warna orange untuk mencegah ketakutan,
warna merah untuk mencegah kejahatan, dan warna yang terakhir adalah warna ungu
untuk mencegah pikiran jahat. Pada mulanya orang yang hadir di pendopo harus
duduk bersila di lantai. Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19, pada
saat pemerintahan Mangkunagara VI.
Di bagian Barat Pendopo terdapat empat set gamelan, satu
digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus.
Gamelan yang diselubungi kain hijau adalah Kyai Kanyut Mesem (tertarik untuk
tersenyum), merupakan gamelan pusaka yang paling baik, paling lengkap dan
paling sering dimainkan. Tiap hari Rabu pagi Kyai Kanyut Mesem ditabuh untuk
latihan beksan, dan tiga kali dalam
sebulan diadakan siaran dari gamelan tersebut oleh RRI Solo. Kyai Kanyut
Mesem telah berumur kira-kira 200 tahun.
Di samping Kyai Kanyut Mesem, di pendopo juga ditata tiga
set gamelan yaitu Upacara Munggang, Corobalen dan Kodok Ngorek. Gamelan-gamelan
ini ditabuh pada upacara-upacara tertentu saja, seperti penobatan, perkawinan,
khitanan, pada saat menyambut kedatangan tamu agung. Setiap hari Sabtu pagi
diadakan latihan memukul gamelan-gamelan tersebut. Gamelan-gamelan tersebut
juga digunakan untuk mengiringi tari, salah satu tari yang biasa dipertontonkan
di Pendopo ialah tari Srimpi. Biasanya tari Srimpi ditarikan oleh 4 orang
penari atau lebih dan yang menari haruslah seorang gadis.
Menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi
melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia yaitu :
-
Grama (Api)
-
Angin (Udara)
-
(Air)
-
Bumi (Tanah)
Sedang nama peranannya Batak,
Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang
Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi
Anglir Mendhung. Serimpi merupakan seni yang adhiluhung serta dianggap pusaka
Kraton. Tema yang ditampilkan pada tari Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada
tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua hal yang
bertentangan antara baik dengan buruk, antara benar dan salah antara akal
manusia dan nafsu manusia.
2. PARINGGITAN
Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka
bernama Paringgitan, yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan
seluas 1.000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur
pengantin kerajaan, sekarang berfungsi
sebagai museum. Pada saat menuju Paringgitan kita akan disambut dengan lukisan,
lukisan-lukisan tersebut tidak lain adalah gambar KGPAA. Mangkunagoro IX yang
berhadapan dengan lukisan Gusti Kanjeng Putri, istri kedua Mangkunegaran IX.
Yang kemudian disebelah lukisan Mangkunagoro VII yang berhadapan dengan
istrinya, K.R. Timum. Selain memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri)
yang berlapiskan tenun sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum
ini juga memamerkan perhiasan, senjata, pakaian, medali, perlengkapan wayang,
uang logam, gambar raja-raja Mangkunagaran dan benda-benda seni. Di sebelah
kanan dan kiri Paringgitan terdapat kamar untuk perempuan dan laki-laki. Di
sebelah kanan Paringgitan digunakan untuk perempuan yang disebut balai Wasni,
untuk laki-laki disebut balai Peni yang terdapat di sebelah kiri Paringgitan.
3. DALEM AGENG
Dalem ageng merupakan tempat diadakannya upacara-upacara
tradisional. Bangunannya berbentuk limasan (dengan 8 buah soko guru), tidak
memiliki plafond, sehingga usuk-usuk dan reng-reng dapat dilihat, yang
merupakan simbol dari matahari.
Di Dalem Ageng terdapat koleksi
benda-benda purba, yang dikumpulkan mulai tahun 1926. Koleksi ini ditempatkan
di almari kaca, seperti gelang, kalung, subang, anting-anting, rantai, badong
dan sebagainya. Disamping koleksi tersebut, dipamerkan pula barang-barang
ampilan upacara seperti: sumbu (tempat sapu tangan), tempat sirih, kecohan
(tempat meludah), senjata-senjata kuno dan lain sebagainya , serta dua buah
almari berisi pakaian-pakaian yang disepuh untuk tari-tarian Bedhoyo srimpi dan
Langendriyan. Terdapat pula lukisan para Adipati yang pernah memegang tahta di
istana Mangkunegaran mulai dari Mangkunagoro II hingga Mangkunagoro IX.
Sedangkan Mangkunagoro I hanya dilambangkan dengan simbol matahari karena
beliau tidak mau dilukis. Di tengah ruangan itu terdapat tempat yang bernama
Trohongan untuk memuja Dewi Padi , setiap malam Jum’at kliwon diadakan pemujaan
terhadap Dewi Padi dengan membawa persembahan berupa sesajian . Di sebelah
kanan dan kirinya terdapat kamar yang digunakan untuk tempat istirahat putra
dan putri raja . Kamar untuk laki – laki terletak di sebelah kiri Trohongan
yang disebut Sentong kiri. Sedangkan kamar untuk perempuan yang terletak di
sebelah kanan Trohongan yang disebut Sentong kanan. Di Trohongan juga terdapat
dua patung, perempuan disebelah kanan, sedangkan yang laki-laki disebelah kiri,
kedua patung ini disebut Loro Gloyo.
Semua koleksi barang tersebut
ditempatkan di Dalem Ageng dan sekarang dapat dilihat oleh umum tetapi tidak
dapat diabadikan, agar meningkatkan rasa harga diri bangsa, karena
barang-barang tersebut merupakan hasil karya bangsa kita sendiri. Diantaranya,
terdapat tata rias tari B. srimpi Sinari yang terbuat dari emas dan intan.
Selain itu juga terdapat kipas yang pernah digunakan oleh Gusti Nurul Kusuma
Wardani saat perkawinan seorang Belanda, yaitu Yuliani, dimana sang penari pada
saat itu menari di Belanda, tetapi diiringi oleh gamelan di Pendopo.
Koleksi barang yang lain yaitu
perlengkapan wanita, kebanyakan anting-anting putri. Di meja lain terdapat
perlengkapan pria. Terdapat juga berbagai macam uang yang terbuat dari emas,
uang yang besar rupiah, sedangkan yang kecil sen. Di tempat lain juga terdapat
berbagai peralatan rumah tangga, diantaranya tempat gula, tempat susu, teh,
kopi, wawidon untuk sirih, kumpeng, serutu, tempat untuk minum anggur. Selain
peralatan rumah tangga, terdapat juga tempat gambir, injet, gunting serutu,
gading dari Bali, dan replika Dasamuka. Barang-barang tersebut terbuat dari
Kristal dan merupakan hadiah dari Eropa. Koleksi lain yang merupakan hadiah
dari Jepang yaitu sebuah bola, dimana di dalam bola itu masih terdapat bola
lain sampai 12 bola. Di dalam Dalem Ageng juga terdapat koleksi medali yang
diantaranya dari Negara Cina, Belanda, dan Thailand. Diantara medali-medali
tersebut juga terdapat salib dari Roma. Di meja lain juga ada pedang pemberian
dari Jepang, Belanda, dan Turki.
Di Dalem Ageng juga ada tempat
untuk sesaji. Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng,
terdapat tempat pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para
keluarga keturunan raja. Taman di bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang
berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan sangkar berisi
burung berkicau. Terdapat pula patung-patung klasik model Eropa, serta
kupu-kupu berwarna-warni dengan air mancur yang bergerak-gerak di bawah sinar
matahari. Menghadap ke taman terbuka adalah beranda dalem yang bersudut
delapan, dimana terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa yang indah. Kaca-kaca
berbingkai emas terpasang berderet di dinding. Dari beranda menuju ke dalam
tampak ruang makan dengan jendela kaca berwarna gambar yang berisi pemandangan
alam Jawa, terdapat ruang ganti dan rias para putri raja serta kamar mandi yang
indah.
4. GARASI KERETA
Garasi kereta terletak di
sebelah tenggara Istana Mangkunegaran. Di dalam ruangan tersebut terdapat enam
buah kereta dan sebuah kurungan ayam yang sebenarnya digunakan untuk acara
“tedak siti”. Acara ini merupakan acara syukuran bagi bayi berumur tujuh bulan
yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah.
Sedangkan keenam kereta yang
ada di ruangan tersebut pernah digunakan dari tahun 1850 – 1944 atau pada masa
pemerintahan Mangkunagoro IV hingga Mangkunagoro VIII. Kereta yang paling tua
bernama Barouchet. Kereta ini mengalami perbaikan pada tahun 1860 -1880.
Sedangkan kereta yang paling besar dan mewah bernama Kyai Condroretno. Kereta
ini merupakan hadiah dari Deen Haag, Belanda dan pernah mengalami perbaikan
pada tahun 1850 – 1860. Kyai Condroretno pernah digunakan pada acara pernikahan
Mangkunagoro IX dengan istri pertamanya. Kereta yang ketiga bernama Landaulet
yang merupakan hadiah dari Amsterdam, Belanda. Pernah mengalami perbaikan pada
tahun 1913. Kereta yang keempat bernama Glaslaunder, hadiah dari Amsterdam,
Belanda. Pernah mengalami perbaikan pada tahun 1890 – 1900. Dari keenam kereta
tersebut, terdapat dua kereta yang sama, bernama Berline. Merupakan hadiah dari
London, Inggris dan pernah mengalami perbaikan pada tahun 1880 – 1900.
Karena Istana Mangkunegaran
memiliki obyek-obyek kebudayaan, maka diberi nama Obyek Wisata Budaya dan
dibuka untuk umum sejak tahun 1968, dengan tujuan:
-
Untuk menyebarluaskan
kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya dan kebudayaan Jawa khususnya.
-
Agar kebudayaan tersebut dapat
dimengerti dan dimanfaatkan terutama oleh generasi penerus.
-
Untuk menambah pemasukan Istana
Mangkunegaran guna biaya pemeliharaan benda-benda kebudayaan tersebut.
BENDA KOLEKSI DI ISTANA
MANGKUNEGARAN
1. MAKSUD DAN TUJUAN KOLEKSI
Maksud dan tujuan dari koleksi
antara lain adalah untuk menunjukkan bahwa kebudayaan, adat serta peradaban
bangsa kita dimasa lampau telah begitu tinggi dan maju. Dengan koleksi ini
diharapkan kita dapat memperlihatkan sebagian dari budaya bangsa kita yang
selama ini tenggelam. Kita mencoba untuk menghidupkannya kembali dengan
menunjukkan kepada bangsa kita pada umumnya dan kepada generasi muda pada khususnya
yang belum begitu mengenal peradaban bangsa kita di masa lampau.
Diharapkan akan menjadi
kenyataan bahwa akan tiba masanya bahwa benda-benda peninggalan jaman kuno
tidak lagi dianggap keramat, yang dapat mendatangkan keuntungan atau
kesengsaraan, akan tetapi dinilai sebagai kebudayaan bangsa yang memiliki nilai
budaya yang tinggi. Hal ini pada akhirnya bisa memainkan peranan dalam studi
mengenai sejarah dan kebudayaan bangsa.
2. ASAL-USUL BENDA KOLEKSI
Dengan terus menerus membeli
benda-benda dari perak dan emas yang dibuat oleh pandai emas Jawa Kuno
diperoleh gambaran yang jelas bagaimana kemampuan mereka pada saat itu. Akan
tetapi hal seperti itu tidak dapat untuk mengetahui secara pasti darimana asal
benda-benda tersebut.
Koleksi benda-benda yang terbuat
dari emas dibeli dari Surakarta dan Yogyakarta. Menurut catatan, asal-usul
benda koleksi tersebut apabila ditemukan didalam wilayah praja Mangkunegaran
kebanyakan berasal dari daerah sekitar Wonogiri. Hal ini sesuai dengan penemuan
prasasti pada tahun 1933, yaitu berupa perahu ferry buatan tahun 903 M, yang
bebas bea di daerah Bengawan Solo, dimana tempat tersebut sekarang bernama
Wonogiri.
Seribu tahun yang lalu, letak
keraton tidak begitu jauh ke Selatan, karena hubungan dengan India maupun
dengan negara asing dilakukan di pantai Utara. Oleh karena itu, kita bisa
menghubungkannya dengan asal usul benda emas di daerah Gunung Kidul dengan
perahu ferry yang bebas bea masuk ke Bengawan Solo, yang barangkali bermaksud
untuk memajukan perjalanan ziarah ke makam raja-raja dan pertapaan.
Untuk di daerah Yogyakarta
ditemukan di Selatan ibukota Bantul, yang terletak dekat dengan candi-candi
utama. Di daerah Surakarta diperoleh arca-arca di daerah candi Nusukan yang
sekarang telah hilang. Konon, candi tersebut terletak di dekat jembatan kereta
api di atas Sungai Kalianyar.
Tempat penemuan lain yaitu di
Mojogedang, Sragen. Dahulu, disini terdapat kompleks kecil yang terdiri dari
candi utama yang di depannya terdapat tiga monumen kecil. Di situs tersebut
terdapat arca Siwa kepala tiga yang masih terdapat lingga dan yoni.
3. MACAM-MACAM BENDA KOLEKSI
Macam-macam benda yang
dipamerkan di dalam museum Istana Mangkunegaran antara lain:
a.
Kereta
b.
Arca logam
c.
Arca batu
d.
Peralatan dari logam
o Lampu
o Talam
untuk Pendeta
o Genta
untuk Pendeta
o Genta
gantungan
o Anglo
untuk dupa
o Belanga
untuk air suci
o Belanga
o Ciduk
o Cermin
o Atribut
agama Budha
o Cincin
dan ban pengikat
e.
Rantai/kalung
o Hiasan
badan lain-lainya
o Mata
uang dan peneng
o Lain-lain
§ Digunakan
untuk upacara
§ Benda-benda
perhiasan
§ Prasasti
§ Kegunaan
tidak diketahui
f.
Senjata-senjata
o Tombak
o Keris
o Kujang,
dan lain-lain
g.
Lukisan (dari Basuki Abdullah)
dan foto
h.
Topeng-topeng dari Bali,
Madura, Cirebon, Solo, Yogya dan Malang
i.
Tanda penghargaan
j.
Pakaian tari
o Tari
srimpi
o Tari
langendriyan
k.
Wayang beber
l.
Koleksi Kristal
m.
Kaligrafi
n.
Koleksi lain-lain
blas gk ngeh dgn kerajaan ini krn gara-gara Rebutan Jatah pd saling serang.
BalasHapusharusnya malu pd rakyat nya tolong sama2 kita cermati lbh tliti ini aib sekelas kerajaan yg memalukan dirinya sendiri...
Seperti diwartakan sebelumnya geger di Keraton Surakarta, masih memanas antara dua kubu. Dari kubu pro-rekonsiliasi, yakni GPH Madukusumo, menuding dua menantu Paku Buwono (PB) XII, yakni KRMH Satriyo Hadinagoro dan KP Edy Wirabhumi sebagai dalang di balik keributan yang terjadi Senin lalu.
Sementara dari pihak Dewan Adat yang diwakili KRMH Satriyo Hadinagoro menegaskan, pihaknya tidak melakukan penggembokan maupun penyanderaan terhadap Raja Paku Buwono (PB) XIII, seperti yang ditudingkan pihak KGPH Tedjowulan. “Itu sudah diterangkan oleh pihak kepolisian, bahwa tidak ada penggembokan dari dalam,” ujar Satriyo.
Satriyo juga mengungkapkan bahwa pihaknya sudah cooling down dan bersikap dewasa dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini. “Saya selalu ingat pepatah Jawa, becik ketitik olo ketoro,” tandasnya.
Sementara saat menggelar jumpa pers di kediamannya, Rabu (28/8), GPH Madukusumo mengatakan, perilaku Edy Wirabumilah yang berusaha memecah belah kerukunan di dalam keraton. “Seharusnya dia (Edy) itu merukunkan, bukan memecahkan,” katanya.
Ia pun menentang keras sikap Dewan Adat Keraton yang mengklaim sudah mengambil alih wewenang Raja PB XIII Hangabehi. “Mengenai Dewan Adat itu tidak dibenarkan, karena Dewan adat itu tidak ada. Itu hanya LSM yang dibentuk hanya untuk mendapatkan dana hibah dari provinsi,” tegasnya.
Alhasil, adanya pengambil alihan wewenang Raja yang dilakukan oleh Dewan Adat itu ilegal. Sehingga, pihaknya pun tetap mengakui bahwa yang menjadi panutan adalah Raja PB XIII Hangabehi. ”Keputusan Sinuhun masih mutlak. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya Kepres Nomor 23 Tahun 1988 bahwa pemimpin di keraton adalah Sinuhun, bukan dewan adat!” tegasnya.
Ia pun mengatakan bahwa yang menjadi penyebab keributan di Keraton adalah masalah uang. Gusti Madu merincikan, kawasan Keraton memiliki potensi pemasukan uang yang cukup banyak. Mulai dari keberadaan museum, parkir, sewa Alun-alun untuk Sekaten dan panggung musik, pingsungsung, dan potensi lainnya. Namun karena adanya pengelolaan yang tidak merata, menimbulkan perselisihan.
“Seharusnya apa yang ada di kawasan keraton itu harus dibagi rata semua. Kan banyak, mulai dari parkir, museum, alun-alun kan bisa dibagi rata. Semuanya bisa dibahas, sebelum nanti jatuh korban,” katanya.
Gusti Madu pun menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh warga Baluwarti atas ketulusannya dan dedikasinya yang membantu keraton dalam mengusir massa yang didatangkan oleh KP Eddy Wirabumi.
Terpisah, Wakil Pengageng Sasana Wilapa Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo mengakui pemasukan uang ke keraton cukup besar. Untuk parkir di kawasan museum dalam seminggu saja mencapai Rp 6 juta. “Jumlah itu sudah dibagi dengan penyewa, jadi keraton mendapat 60 persen dan penyewa 40 persen,” paparnya.
Selain itu, juga dari pergelaran Sekaten yang dulu dikelola pemerintah sekarang dikelola sendiri. Juga pemasukan dari kunjungan wisatawan. Di samping itu ada juga dana hibah dari pemerintah provinsi maupun Pemkot Surakarta.
Meski begitu, Winarno merinci berbagai kebutuhan untuk kegiatan rutin keraton. “Untuk setiap bulannya saja, keraton itu menghabiskan anggaran antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Itu digunakan untuk berbagai kegiatan,” katanya.
Ia merinci, untuk pembayaran listrik sekitar Rp 1 juta, pakan kerbau Rp 2 juta per bulan, Sajen gondorasan setiap hari Kamis dan Selasa kliwon sebesar Rp 400.000. Untuk keputren setiap hari Kamis Rp 630.000. Untuk pajak di Kuta Gedhe dan Imogiri setiap tiga bulan sekali sebesar Rp 1,5 juta.
(y)
HapusIki Kadipaten Mangkunegaran dudu Kasunanan Surakarta ... Wadoh ,piye to. Tolong dibedakan yo lee..
Hapuslengkap banget ini penjelasannya... super.
BalasHapus