A.
KONSEPSI
DAN URGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Istilah madani berasal dari Bahasa Arab “madaniy” kata “madaniy” berakar pada
kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal atau membangun. Dalam bahasa
Arab kata “madaniy” mempunyai beberapa arti, antara lain yang beradab, orang
kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil/perdata (Munawwir,1997;1320). Dari
kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham
masyarakat kota). Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyakat yang beradab, masyarakat sipil dan masyarakat yang berpaham
masyarakat kota yang akrab dengan pluralisme yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam bahasa
inggris masyarakat madani sering diistilahkan dengan civil society/
madman society yang berarti masyarakat sipil. Adam B. Seligman
mendefinisikan civil society sebagai perangkat gagasan etis yang
mengehawantahkan dalam berbagai tatanan social, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan
kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan
kepentinga negara. (Abdul Mun’im,1994;6).
Dua tinjauan
konsep masyarakat madani, baik melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa
inggri memiliki makna yang relatif sama, yaitu menginginkan suatu masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban demokrasi.
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik islam didasarkan pada
prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW.
Prinsip dasar
yang lebih detail mengenai masyarakat madani diuraikan oleh Akram Dilya’
al-Umari dalam bukunya Al-Mujtaman’ al-Madaniy fi’ Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat
madani pada Periode Kenabian). Menurutnya ada beberapa prinsip dasar yang dapat
diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, antara lain :
1). Adanya
sistem muakhah (persaudaraan)
2). Ikatan
Iman
3). Ikatan
Cinta
4). Persamaan
si kaya dan si miskin
5). Toleransi
umat beragama.
Itulah lima
prinsip yang dibuat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat madinah yang tertuang
dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip
masyarakat madani seperi itu sangat ideal untuk di negara dan masyarakat
manapun tentunya dengan penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta
budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
B.
PIAGAM
MADINAH RUH MASYARAKAT MADANI
Gagasan
masyarakat madani yang diperkenalkan Anwar Ibrahim ini, merujuk pada Negara
Kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 Masehi, dimana
Nabi membuat perjanjian antara Muhâjirîn dan Ansâr sebagai komunitas Islam di
satu pihak, dan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu
mereka di pihak yang lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta
bersama-sama mempertahankan keamanan di wilayah Madinah.
Perjanjian ini juga disebut sebagai “konstitusi” atau undang-undang karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk. Disebut juga sebagai “piagam” karena perjanjian tersebut berisi pengakuan terhadap hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, mengatur kewajiban-kewajiban semua golongan, menetapkan persatuan dan kesatuan semua warga, dan menghapus peraturan kesukuan yang tidak baik.
Piagam Madinah ini menjadi landasan persatuan masyarakat Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur yang heterogen. Piagam Madinah inilah yang merupakan dasar terbentuknya Negara Madinah (butir-butir dalam Piagam Madinah dapat dilihat dalam komentar di bawah)
Piagam Madinah ini, menurut Sayuti Pulungan, mencakup 14 prinsip yang yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintahan, yaitu 1) prinsip umat; 2) persatuan dan persaudaraan; 3) persamaan; 4) kebebasan; 5) hubungan antar pemeluk agama; 6) tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) hidup bertetangga; 8) perdamaian; 9) pertahanan; 10) musyawarah; 11) keadilan; 12) penegakan hukum; 13) kepemimpinan; 14) ketakwaan.[16]
Perjanjian ini juga disebut sebagai “konstitusi” atau undang-undang karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk. Disebut juga sebagai “piagam” karena perjanjian tersebut berisi pengakuan terhadap hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, mengatur kewajiban-kewajiban semua golongan, menetapkan persatuan dan kesatuan semua warga, dan menghapus peraturan kesukuan yang tidak baik.
Piagam Madinah ini menjadi landasan persatuan masyarakat Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur yang heterogen. Piagam Madinah inilah yang merupakan dasar terbentuknya Negara Madinah (butir-butir dalam Piagam Madinah dapat dilihat dalam komentar di bawah)
Piagam Madinah ini, menurut Sayuti Pulungan, mencakup 14 prinsip yang yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintahan, yaitu 1) prinsip umat; 2) persatuan dan persaudaraan; 3) persamaan; 4) kebebasan; 5) hubungan antar pemeluk agama; 6) tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) hidup bertetangga; 8) perdamaian; 9) pertahanan; 10) musyawarah; 11) keadilan; 12) penegakan hukum; 13) kepemimpinan; 14) ketakwaan.[16]
C.
KARAKTERISTIK
DAN PILAR MASYARAKAT MADANI
Pilar penegak masyarakat madani
adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial kontrol yang
berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta
mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar tersebut
antara lain:
• Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga Swadaya
Masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang
tugas utamanya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang tertindas. LSM dalam konteks masyarakat madani bertugas
mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengadakan pelatihan dan sosialisasi
program-program pembangunan masyarakat.
• Pers
Pers adalah
institusi yang berfungsi untuk mengkritisi dan menjadi bagian dari sosial
kontrol yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berhubungan dengan warga negaranya. Selain itu, pers juga
diharapkan dapat menyajikan berita secara objektif dan transparan.
• Supremasi Hukum
Setiap warga
negara , baik yang duduk dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk kepada
aturan atau hukum. Sehingga dapat mewujudkan hak dan kebebasan antar warga
negara dan antar warga negara dengan pemerintah melalui cara damai dan sesuai
dengan hukum yang berlaku. Supremasi hukum juga memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang
melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia.
• Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi
merupakan tempat para aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) yang menjadi bagian
kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak melalui jalur moral porce
untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, setiap gerakan yang dilakukan itu harus
berada pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada real dan realitas yang
betul-betul objektif serta menyuarakan kepentingan masyarakat. Sebagai bagian dari
pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama
mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat.
• Partai Politik
Partai Politik
merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya.
Partai politik menjadi sebuah tempat ekspresi politik warga negara sehingga
partai politik menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.
D.
POLITIK
DAN PEMERINTAHAN ISLAM
Sistem politik Islam memang berbeda
dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu hal yang paling penting dalam sistem
politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat ataupun kepala
negara (khalifah), tetapi di tangan syarak (aturan dan hukum Islam). Sementara
itu, kekuasaan khalifah adalah untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat
Islam. Sistem pemerintahan Islam dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Semua
pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama.
Tugas Rasulullah SAW adalah memimpin masyarakat Islam sebagai utusan Allah SWT
dan kepala negara Islam Madinah. Masalah negara merupakan urusan duniawi yang
bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus
berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat
diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori
politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara
Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk
wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan
tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun
penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang
bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini
mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah,
dan lain-lain. Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan
agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama
universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan
konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi,
seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep
politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi
hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri
dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat
madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi
adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu
mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilanbernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai
upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau,
dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup
bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak
bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik.
Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian
kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran
di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang
teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk
meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga
tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan
penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin
membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini
sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia. BAB II KARAKTER PEMERINTAHAN 1. Masa Rasulullah Awal terbentuknya
negara Islam Madinah bermula dari konflik antarklan Arab (suku Aus dan Khazraj)
yang kerap terjadi di wilayah jazirah Arab. Konflik yang terjadi pada masa itu
bukan disebabkan perebutan kekuasaan, melainkan karena perebutan sumber air
yang terdapat di luar wilayah kekuasaan masing-masing. Bagi mereka, air adalah
sumber kehidupan dan kekayaan. Sumber air yang diperebutkan bernama Bu'bs,
lembah yang terletak tidak jauh dari Yatsrib (Madinah). Konflik yang terus
berkepanjangan ini, membuat masyarakat Arab Yatsrib khawatir keamanan wilayah
mereka terancam dari kemungkinan serangan musuh. Kekhawatiran dan rasa tidak
aman ini membuat masyarakat Yatsrib merindukan figur seorang tokoh pemimpin
yang adil dan mampu menegakkan peraturan yang dapat diterima semua pihak. Oleh
sebab itu, suku Aus dan Khazraj terus berusaha mencari tokoh yang diharapkan. Ø
Baiat Aqabah Pada tahun ke-11 kenabian, enam orang dari suku Khazraj bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW di Aqabah, Mina. Pertemuan tersebut adalah pertemuan
dua aspirasi. Di satu sisi, Nabi Muhammad SAW berharap Yatsrib dapat menjadi
tempat tegaknya masyarakat yang berdasarkan Islam dan di sisi lain, masyarakat
Arab Yatsrib melihat Nabi SAW sebagai individu yang diharapkan dapat menegakkan
cita-cita keamanan, kedamaian, dan keadilan di Yatsrib. Hasil dari pertemuan
itu, mereka semua masuk Islam. Dan, mereka berjanji akan mengajak penduduk
Yatsrib untuk masuk Islam pula. Pada tahun berikutnya, 12 orang delegasi
Yatsrib menemui Nabi SAW di tempat yang sama, Aqabah. Mereka terdiri atas
sembilan orang suku Khazraj dan tiga orang suku Aus. Selain masuk Islam, mereka
bersumpah di hadapan Nabi SAW. Perjanjian ini dikenal dengan Baiat Aqabah
pertama. Dalam perjanjian itu, disebutkan bahwa mereka tidak akan menyekutukan
Allah SWT, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak
keturunan, tidak akan menyebar fitnah, dan tidak akan mengabaikan kebenaran.
Kemudian, pada tahun berikutnya, orang-orang Yatsrib ini kembali menemui Nabi
SAW di Aqabah. Namun, kali ini mereka datang dalam jumlah besar, yakni sebanyak
74 orang, terdiri atas 71 orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dalam
rombongan besar ini terdapat semua orang yang telah menemui Nabi SAW pada dua
gelombang sebelumnya. Dalam kesempatan ini, terjadilah perjanjian antara mereka
dan Nabi, yang dikenal dengan Baiat Aqabah kedua. Kedua baiat ini, menurut
Munawwir Sadjali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, merupakan batu pertama
bangunan negara Islam. Baiat tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk
Yatsrib kepada Rasulullah SAW, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad
sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul. Sebab, pengakuan sebagai
Rasulullah tidak melalui baiat melainkan melalui syahadat. Dengan dua baiat
ini, Rasulullah SAW telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan
dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar baiat ini pula,
Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk hijrah ke Yatsrib. Dan, beberapa
waktu kemudian Rasulullah SAW sendiri ikut hijrah dan bergabung dengan mereka
di Yatsrib. Ø Piagam Madinah Umat Islam memulai hidup bernegara setelah
Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di
kota ini, Rasulullah SAW segera meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi
pembentukan suatu masyarakat baru di bawah pimpinan beliau. Masyarakat baru ini
merupakan masyarakat majemuk, yang terdiri atas tiga golongan penduduk. Pertama,
kaum Muslimin yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Ansar ini adalah kelompok
mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Khazraj yang
belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri
atas tiga kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Bani
Qainuqa. Dua kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Bani Nadir
dan Bani Quraizah. Setelah sekitar dua tahun berhijrah, Rasulullah SAW
mengumumkan tentang peraturan dan hubungan antarkomunitas di Madinah.
Pengumuman ini dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini merupakan
undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan
hubungannya dengan umat yang lain. Piagam inilah yang dianggap sebagai
konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah
konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat
Islam. Sebagai kepala negara, Rasulullah menyadari akan arti pengembangan
sumber daya manusia melalui penanaman akidah dan ketaatan kepada syariat Islam.
Beliau membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di
berbagai bidang kehidupan, Rasulullah SAW melakukan pengaturan sesuai dengan
petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan,
beliau mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang
diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul SAW
mengangkat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab sebagai wazir (menteri).
Juga, mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin di sejumlah
wilayah kekuasaan Islam, di antaranya Muaz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman.
Selain itu, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW juga melaksanakan hubungan
dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum,
Rasulullah SAW mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, di
antaranya kepada Almuqauqis raja negeri Mesir, Kisra penguasa Persia, dan
Kaisar Heraklius penguasa Romawi. Dalam surat yang dikirim tersebut, Nabi mengajak
mereka masuk Islam. Sehingga, bisa dikatakan politik luar negeri negara Islam
Madinah saat itu adalah dakwah semata. Bila mereka tidak bersedia masuk Islam,
diminta untuk tunduk dan bila tidak mau juga, barulah negara tersebut
diperangi. Ø Hubungan Rakyat dan Negara Dalam Islam sesungguhnya tidak ada
dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk
kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan
tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan
kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan
yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal
(Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas
pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur
perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna
kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah.
Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas
Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan. Adapun peran rakyat
dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia
laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan
masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa
semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat
Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan
sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi
negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah
potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).
Ø Aspirasi Rakyat Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’
na wa atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib
melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang.
Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan
kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal
melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk
mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya
setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada
syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya.
Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan. Di luar masalah tasyri’,
Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil
suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat
tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para
sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah,
setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau
pendapat Rasul sendiri. Ø Penegakkan Hukum Hukum Islam ditegakkan atas semua
warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada
pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap
keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan
secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun. 2. Masa Khulafa ar-Rasyidun
Al-Khulafa ar-Rasyidun merupakan pemimpin umat Islam setelah Rasulullah SAW
wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sepeninggal Rasulullah SAW,
kepemimpinan umat Islam beralih kepada Abu Bakar as-Siddiq. Pemilihan dan
penetapan Abu Bakar sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya
dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui
oleh semua yang hadir pada saat itu. Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua
tahun. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri,
terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang membelot dari
Islam dan tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Mereka yang termasuk dalam
golongan tersebut disebut kaum Riddah (murtad, kaum yang keluar dari agama
Islam). Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, barulah perhatian Abu Bakar
beralih kepada masalah luar negeri. Pada saat itu, di luar kekuasaan Islam
terdapat dua kekuatan adidaya yang dinilai dapat mengganggu keberadaan Islam
secara politis maupun sebagai agama. Kedua kekuatan tersebut adalah Kekaisaran
Persia dan Romawi Timur. Di zaman kepemimpinan Umar bin Khattab, gelombang
ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi. Ibu kota Syria,
Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium
kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke tangan kekuasaan
Islam. Ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak
di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqas. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan
tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam.
Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Kemudian,
kekuasaan Islam menyebar hingga Jazirah Arabia, seperti Palestina, Syria,
sebagai Persia dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar
segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah
berkembang, terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi
delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Pada masa pemerintahan Umar, juga mulai diatur dan
ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga
keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula, jawatan
pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan
menciptakan penghitungan tahun hijriah. Umar memerintah selama 10 tahun (13-23
H/634-644 M). Di masa pemerintahan Usman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus,
Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall
berhasil direbut. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh
terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan
umat Islam terhadapnya. Pada masanya, Usman berjasa membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas
masjid Nabi di Madinah. Ali bin Abi Thalib Setelah Usman wafat, Ali bin Abi
Thalib dibaiat menjadi khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Di antaranya, Ali harus
berhadapan dengan pendukung Usman yang tidak suka dengan pemecatan gubernur
yang dulunya diangkat usman. Selain itu, Ali juga harus berhadapan dengan
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah. Di akhir masa
pemerintahannya, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu
Mu'awiyah, Syiah (pengikut Ali), dan Khawarij. 3. Masa Kerajaan Islam Dinasti
Umayyah Ketika memegang tampuk pemerintahan Islam sesudah al-Khulafa
ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah melanjutkan tradisi kerajaan-kerajaan pra-Islam di
Timur Tengah. Sikap ini mengundang kritik keras dan oposisi, terutama dari
golongan Khawarij dan Syiah. Usaha menekan kelompok oposisi terus dijalankan
bersamaan dengan usaha memperluas wilayah Islam hingga Afrika Utara dan
Spanyol. Pada masa awal memerintah, Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan
Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan mengadakan dinas pos dengan menyiapkan kuda
yang lengkap dengan peralatannya di tempat tertentu sepanjang jalan. Pegawai
pos menggunakan kuda tersebut untuk membawa surat atau barang titipan lain
sampai ke stasiun berikutnya. Sistem penggunaan mata uang juga mulai
diperkenalkan pada masa ini, yakni dengan didirikannya percetakan mata uang.
Dalam mengendalikan pemerintahannya, Muawiyah didukung oleh beberapa pembantu
utama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi. Ia mengangkat sejumlah
gubernur. Di bidang yudikatif, para qadli (hakim) ditunjuk oleh gubernur
setempat yang diangkat oleh khalifah. Semasa memerintah, Muawiyah berhasil
menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak. Ia juga
berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran dan kekayaan yang
melimpah. Perluasan wilayah pada masanya juga sukses hingga mencapai Afrika
Utara, wilayah Khurasan, dan Bukhara (Turkistan) setelah berhasil menyeberang
Sungai Oxus. Hal ini kemudian diikuti khalifah berikutnya, seperti Abdul Malik
hingga Umar bin Abdul Aziz. Wilayah kekuasaan Islam menyebar hingga Andalusia,
Spanyol. Dinasti Abbasiyah Salah satu dinasti Islam terlama adalah Abbasiyah.
Setelah Umayyah, muncul Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari lima abad
(750-1258 M) dan pernah mewujudkan zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan
membagi masa kekuasaan Abbasiyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri,
pola perubahan pemerintahan, dan struktur sosial politik maupun tahap
perkembangan peradaban yang dicapai. Berbeda dari pendahulunya, Dinasti
Abbasiyah mendistribusikan kekuasaan secara lebih luas, baik orang Arab maupun
Muslim non-Arab. Sejak berkuasa, penguasa Abbasiyah mengangkat ulama terkenal
untuk menjalankan fungsi hukum. Kekuasaan peradilan diserahkan sepenuhnya
kepada para hakim, yang diangkat oleh pemerintah pusat. Mereka melaksanakan
fungsi yudikatif, bebas dari intervensi penguasa. Birokrasi juga mulai
ditumbuhkan pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Di antaranya, adanya jabatan
baru, yaitu wazir (penasihat khalifah), pembagian departemen, seperti militer,
administrasi, dokumentasi, dan perbendaharaan.Selanjutnya, wilayah kekuasaan di
tingkat provinsi dipimpin oleh gubernur (amir). Khalifah juga mengangkat hakim
agung (qadli al-qudlat) di setiap provinsi untuk mengatasi masalah-masalah
hukum. Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyah
adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi
keuangan dan perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari
kekuasaan Umayyah. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang
sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang
memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.
E.
KEPEMIMPINAN
ISLAMI DAN PEMERINTAHAN ISLAMI
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan
dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader)
merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior).
Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan
kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas
adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar
manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini
dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah
kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara
pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut.
Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat
mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai
tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan
untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan
menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa :
“Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia
istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration”
(pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan
hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola
organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan
pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek
dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”
Dari uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa
kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok
orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi
kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi
pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa
defenisi tersebut tidak menyebutkan suatu jenis
organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha
mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung
kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia
usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan
bangsa dan negara.
Sedangkan George
R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari
pemimpin yaitu :
(1) Energik,
mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas
emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat
marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai
pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi
pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi
diri sendiri;
(5) Kemampuan
berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan
atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan
sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan
bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes
dalam bergaul;
(8) Kemampuan
teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang,
mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian,
kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah:
“Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah
ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi,
sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh
bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan
kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi
serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan
memajukan organisasi dan atau wilayah kepemimpinannya.”
Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi
seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya
sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character)
bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi
organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan
roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan
Dalam Islam
Kepemimpinan
Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam
atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi
syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus
dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya,
dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang
baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam
(rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam
firman-Nya :
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS.al-Ahzab [33]:
21).
Sebenarnya,
setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik
dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala
kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw.,
yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah!
Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi
kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin
dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya,”
(Al-Hadits).
Kemudian, dalam
Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki
sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni :
Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq
(jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh
(penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah
(bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah
(cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan
mengimplementasikannya.
Selain itu, juga
dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu
kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah
ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju. Dr. Hisham Yahya
Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan
kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia
kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada
Allah;
Kedua, Tujuan
Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja
berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan
Islam yang lebih luas;
Ketiga,
Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan
Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah
syariah.
Dalam
mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika
berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat,
Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt.,
yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin
melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada
pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran
Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang
yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj
[22]:41).
Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip dasar dalam
kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas
penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan
tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip
Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh
rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan
kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan
saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau
bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan
tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut
atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya
kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami
bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana
Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah
nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab:
“Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat
kamu.”
Kepada para
pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial,
penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan
nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !
Sistem
Pemerintahan Islam adalah Sistem Khilafah yang Telah Diwajibkan oleh Rabb
Semesata Alam
Bukan Sistem
Republik, Demokrasi, Kerajaan, Imperium ataupun Federasi
Apa yang terjadi
di Suria sejak lebih dari satu setengah tahun lalu memiliki tema yang sama.
Yaitu bahwa rezim Ba’ats penjahat dan negara-negara besar di dunia
berkonspirasi melawan rakyat kita di Suria supaya Suria tidak keluar dari
kontrol mereka. Yaitu supaya Suria tetap sebagaimana adanya sebagai negara yang
tunduk, mengekor dan menjaga perbatasan negara Yahudi. Negara-negara itu mulai
menetapkan berbagai syarat dan karakteristik untuk Suria pasca Asad. Maka dari
mimbar-mimbar TV channel upahan dan melalui mulut oposisi yang berjuang dari
hotel bintang lima diumumkanlah bahwa masa depan Suria akan menjadi negara
demokrasi sipil dan bahwa masalah di Suria adalah masalah menjatuhkan atau
mengusir kepala rezim dan membentuk pemerintahan yang tidak menindas siapa pun
dan mereka klaim secara dusta sebagai tuntutan masyarakat. Akan tetapi warga
kita tetap tegar menghadapi alat-alat pembunuhan dan penghancuran dan tidak
memandang selain Islam dan pemerintahan menurut apa yang telah diturunkan oleh
Allah SWT sebagai masa depan untuk Suria. Mereka mengungkapkan hal itu dalam
berbagai demonstrasi yang dilupakan oleh media-media massa. Hal itu tampak
jelas pada nama-nama kesatuan pasukan, panji dan slogan-slogan.
Kami di Hizbut
Tahrir menjelaskan kepada kaum Muslimin di Suria dan di seluruh negeri kaum
Muslimin tentang bentuk pemerintahan Islam agar permasalahannya bertransformasi
dari slogan-slogan yang mereka harapkan kembalinya menjadi fakta riil dan jelas
di dalam benak mereka, tertanam kuat di dalam pikiran mereka dan mereka
curahkan semua daya upaya untuk menancapkan dan merealisasinya. Atas dasar itu
maka harus dijelaskan point-point berikut:
1. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah
sistem Khilafah: Khilafah secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum
Muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah imamah itu sendiri.
Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’
agar menjadi daulah Islam sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah saw di
Madinah al-Munawarah, dan sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang
mulia setelah beliau. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah
dan yang menjadi kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di
dalam umat ini seluruhnya kecuali orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir
imperialis yang telah menghancurkan daulah Khilafah dan memecah belah negeri
kaum Muslimin.
F.
JIHAD
MENUJU RAHMATAN LIL ALAMIN
Jihad, mendengar kata ini yang
terbayang dalam benak kita adalah peperangan yang tak kenal ampun, pembantaian,
kelaparan, kemudian keterbelakangan, kebodohan sebagai efeknya yang
berkepanjangan. Permasalah menjadi lebih pelik ketika term jihad ini kita gandengkan
dengan Islam. Kemudian timbulah generalisai Islam teroris, umat Islam adalah
teroris, Muhammad adalah teroris. Tragedi pengeboman menara kembar Wold Tride
Center, bom Bali I dan II, Ambon, Halmahera, Poso, JW. Marriott, Ritz-Carlton
genaplah sudah tuduhan ‘Islam sebagai agama teroris itu.
Di satu sisi
kita menggeborkan Islam Rahmatan lil alamin, dilain pihak teks-teks yang
mempunyai otoritas membentuk normatif dalam pranata sosial Islam-pun ternyata
bermasalah; teks-teks itu bisa dijadikan pembenran bagi tindakan-tindakan
desktruktif atas nama Islam. Lalu dimanakah Islam ramah itu, Islam rahmatan
lilalamin itu?
Interpretatif
Jihad
Pertanyaan
tersebut telah memaksa juris Islam untuk memetakan ulang (bukan rekontruksi)
pandangan-pandangan ulama Islam terdahulu. Barangkali karena semakin dangkalnya
nalar umat, format ulang menjadi suatu hal yang niscaya. DR. Ramadhan Bouthi-
pakar piqh kenamaan asal Siriya- memulai uraiannya tentang jihad dengan
mengulas makna jihad. Menurutnya telah terjadi kesalahan pemahaman di kalangan
umat Islam tentang makna kata ini, dimana jihad selalu berkonotasi perang .
Pemahaman
seperti itu salah sama sekali. Sebab jihad mencakup berbagai varian,
diantaranya melawan hawa nafsu, upaya-upaya menyampaikan dakwah; baik dengan
sikap, ucapan juga termasuk jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan perang juga
termasuk di dalamnya. Sehinga ketika kita menemukan kata ‘jihad’ dalam
literatur klasik, tidaklah selalu berarti perang. Semisal kata ‘jihad
fisabilillah’, kalimat ini mengakomodir varian yang telah di sebut tadi.
Melawan hawa
nafsu merupakan varian jihad yang paling utama. Bagaimana tidak –tambah al
Bouthi- secara tegas ayat al Quran mensipatinya demikian sebagai jihadan
kabira, jihad yang paling utama. Dalam sabdanya nabi mengatakan “ jihad yang
paling utama adalah menyatakan kebenaran-kebenaran di hadapan penguasa lalim ”
dalam sabdanya yang lain “ jihad yag paling utama adalah melawan hawa nafsmu
kareana Allah Ta’ala ”. Demikian fakta bahwa jihad tidaklah selalu bermakna
perang.
Menurut al
Bhouthi, pemahaman seperti itu bermuara dari pemahaman umum bahwa jihad di
syari’atkan pertama kali setelah Rasul hijrah (migrasi) ke Madinah. Menurutnya,
faktanya tidaklah demikian. Surat yang diturunkan di Mekah pun berbicara
masalah jihad seperti halnya umumnya surat Madaniah. Semisal surat al Furqon
25/52, an nahl 16/110, ayat ayat dalam surat ini menurut mayoritas (jumhur )
ulama adalah Makiah tapi juga berbicara masalah jihad. Sementara Ibnu Abas
mengecualikan tiga ayat, menurutnya ayat 95, 96, 97 dalam surat an Nahl adalah
madaniah.
Dakwah Islam
adalah dakwah persuasif
Dalam Islam
tidak ada paksaan untuk meyakini sesuatu bagi sekelompok orang yang berbeda
keyakinan, dakwah dilakukan secara persuasive sebagaiman dalam firmanNya: ”
serulah umat manusia menuju jalan tuhanmu dengan hikmah dan tuturkata yang
baik. Dalam surat Kahfi di cetitakan bagaiman Nabi Musa di perintah untuk
bertutur kata yang halus ketika mengahdapi Firaun raja Mesir yang mengaku
menjadi tuhan, “ paqula qaulan lainan…” berkatalah dengan halus pada Firaun,
demikian peritahNya.
Dakwah Islam di
tegakan atas dasar taawun alal birri wattaqwa: Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya. (QS: ala Maidah: 2).
Jika motif
dakwah adalah demikian, maka dakwah; ajakan tidak boleh keluar dari
aturan-aturan dan karakteristiknya yang toleran. Terbukt ayat-ayat Madaniah
yang dipandang oleh sementara kalangan sebagai periode jihad dengan makna
perang, nyatanya terdapat banyak ayat yang berbicara tentang upaya dakwah
persuasive, sebut saja misala firman Alah Awt: ”Dan jika Kami perlihatkan
kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan
kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya
menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka” (QS: ar Ra’du:
40).
”Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
”( QS: al
Ghosyah: 21-22), demikian ayat-ayat itu menjadi bukti tentang prinsip dasar
dakwah baik dperiode Mekah maupun Madinah.
Sehingga tepat
pendapat mayoritas ulama jika ayat-ayat makiah yang dianggap lebih toleran
tidak di anulir (nasakh).
Hadits ‘ أمرت أن
أقاتل الناس حتى يشهد أن لا أله الا الله .....’
"Aku di
perintah untuh memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada tuhan selain
Allah’ demikian bunyi hadis yang meyisakan kejanggalan-kejanggalan ketika kita
mengacu pendapat para ulama yang mengatakan jihad defensif. DR. Ramadahan al
Bouthi pertama mengomentari hadis ini dari sudut pandang historis lalu ke sudut
pandang transmisi. Menurutnya -sebagaimana yang dikutip dati Ibnu Hajar
al-Asqolani- hadis ini secara transmisi adalah hadits ghorib (hanya
diriwayatkan oleh satu perawi).
Meski demikian
Imam Bkhori dan Imam muslim memasukannya dalam kaegori sahih. Sementara Imam
Ahmad yang standar penilaian sahehnya tidak seketat kedua pakar hadis itu tidak
memasukannya kedalam ensiklopedi hadisnya. Ibnu Hajar Al Asqolani, menuturkan
sementara ulama berpretensi hadis itu jauh dari kemungkinan sahih, mereka
beralasan, hadis ini di riwayatkan oleh Ibnu Umar.
Menurut mereka
seandainya hadis ini benar di riwayatkan oleh Ibnu Umar seharusnya Umar bin
Khatab -ayah dari Ibnu Umar- tidak akan mementang kebijakan Abu bakar untuk
memerangi para pembangkang jakat. Karena semestinya umar Tahu hadis yang di
riwatyatkan Ibu Umar itu, yang mana dalam hadis itu termuat keharusan memerangi
para pembangkang zakat.
Tetapi al Bouthi
lebih lanjut mengatakan dalil itu belum cukup untuk mendoifkan status hadis
ini. Lalu bagaimana jawaban dari kejanggalan tadi. Menurut DR. Bouthi,
sebenarnya tak perlu janggal karena dalam redaksi hadis itu mengguanakan kata أقاتل
(uqِِatilu) yang bermakna musyarakah (kedua-duanya sebagai subjek sekaligus
objek) bukan mutaadi (sobjek-objek).
Orang Arab
menggunakan kata ini hanya ketika pihak lawan yang memulai melakukan sebuah
aksi. Dengan demikian hadis ini selaras dengan pandangan mayoritas ulama bahwa
bahwa jihad dalam Islam adalah jihad defensive, perang untuk melindungi diri
dari ancaman.
Jihad ofensif
ataukah jihad defensif?
Sebelum kita
jawab pertanyaan tesebut kita diskusikan perbedaan pendapat ulama tentang
defensif-offensif . Adalah fakta yang tak dapat di bantah jika para juris Islam
terdahulu telah berselisih pendapat dalam memahami ayat-ayat yang berbicara
jihad.
Semisal dalam
memahami firman Allah Swt berikut: ‘Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim”. (QS: al Baqoroh: 193).
Menurut al
Qurtubi mengomentari ayat ini ulama ada yang mengatakan ayat ini adalah inruksi
untuk memerangi non muslim dimanapun berada, sampai hilanya kemusyrikan tanpa
harus menunggu agresi dari mereka. Kelompok ini berpijak pada pendapat mereka
bahwa ayat-ayat ini telah menganulir (naskh) fase-fase jihad sebelumnya.
Pendapat inilah
yang dijadikan pijakan oleh para teroris (saya sebut teroris).Versi yang kedua
mengatakan; pendapat ini tidaklah menganulir fase-fase yang dimuat oleh
ayat-ayat sebelumnya. Oleh sebab itu kelompok ini berpendapat perang hanya
boleh terjadi ketika kita di serang, setelah upaya damai tak dapat di upayakan.
Kedua kelompok
itu berbeda pendapat bermula dari sebuah pertanyaan, kewajiban berperang yang
diintruksian dalam firman-Nya itu karena alasan (ilat) apa. Kelompok pertama
mengtakan karena status kufur-nya sementara kelompok kedua mengakatan alasannya
adalah harabah, penyerangan mereka terhadap pihak muslim.
Kelompok pertama
berpijak pada firman Allah: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
maha Penyayang (QS: at taubat: 5).
Pijakan yang
kedua Hadis ‘ umirtu an uqatila annasa..’, yang menurt al Bouthi, sebenarnya
menjadi sumber kebingungan mereka. Ayat ini tidaklah memberi kepahaman bahwa
kekufuran yang menjadi motif adanya perintah untuk berperang, ayat tersebut
hanya mengijinkan perang selain pada asyhurul hurum. Karena masih mungkin motif
lain, yaitu harabah, menyerang. Sebagaimana menjadi ketentuan umum di kalngan
para fakar fiqh, ketika ihtimal (ambigu), maka dalil itu tak bisa di jadikan
pijakan.
Adapun masalah
hadis yang mereka jadikan pijakan, di komentari oleh al Bouthi secara
kebahasaan seperti yang telah disebut diatas. Jika pengambilan dalil kelompok
kedua ini lemah, dan cacat maka jelas pendapat kedualah yang bisa di jadikan
pegangan. Sehingga kita tidak perlu lagi mempertanyakan ‘dimana Islam rahmatan
lilalamin itu’ sebab ternyata terorisme tidak memliki pijakan dalam konstelasi
fiqh.
Soal !
1) Jelaskan
pendapat anda tengtang Masyarakat Madani?
2) Sebutkan
prinsip-prinsip yang mengatur Masyarakat Madani?
3) Jelaskan
isi perjanjian yang terdapat pada Piagam Madinah?
4) Sebutkan
Beberapa Prinsip yang dicakup di Piagam Madinah?
5) Jelaskan
pendapat anda tentang Pilar penegak Masyarakat Madani?
6) Sebut
dan jelaskan macam pilar-pilar tersebut?
7) Apa
pendapat anda tentang Sistem Politik Islam?
8) jelaskan
kaitan pemimpin dan kepemimpinan?
9) sebutkan
8 ciri kepemimpinan menurut George R Terry?
10) Jihad
mencakup berbagai varian , Sebutkan?
As claimed by Stanford Medical, It's really the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh 42 lbs lighter than we do.
BalasHapus(By the way, it is not about genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
P.S, I said "HOW", not "WHAT"...
Tap this link to find out if this little test can help you release your true weight loss potential